novel

Magelang, 16 Juli 2017

                      Janji Suci

….
Kau tidak tahu kapan bertemu awal cintamu
Tapi kau harus tau dengan siapa kelak akhir cintamu
Cinta berawal dari paras muka
Cinta berawal dari tatap mata
Cinta bisa bertambah karena harta
Namun akhir dari ujung pencarian cinta adalah Tuhan dan setia
                                                                               

Dalam cinta apa semua orang percaya takdir, entah itu jodoh yang sudah diberikan atau mungkin orang yang dipilih untuk menemani seumur hidupnya. Semua tanda cinta bisa kita reka dan duga, tapi satu hal kuasa Tuhan akan sebuah penyatuan atau perpisahan cinta cuma Tuhan yang punya. Awal yang indah tak selalu berakhir indah, begitu pula sebaliknya. Aku hanya percaya ketika cinta itu kutemukan maka harusnya ada kebahagiaan yang melingkari, meskipun kadang ada campuran kesedihan kelak lebih suka kita kusebut rasa haru, karena semua di dalamnya ada cinta. Boleh bukan jika kesedihan itu jadi bagian kebahagiaan cinta yang terangkai. Sahabat, kala aku merenda harapan di hati akan cinta, tak jarang aku menangis. Kusebut begitu karena aku mulai mengenal dan meraba rasa itu dengan rasa sebelah hati. Ini bukan lagu Ribas, tapi memang kala itu aku hanya menyimpan pualam cinta ini dalam-dalam. Selalu mengaguminya dari jauh, tanpa perduli dia tahu atau tidak ketika mata ini hanya terpaku pada senyum indahnya. Ketika aku selalu mencuri pandang dari sudut bangku sekolah manatapnya yang sedang bersenda gurau di luar sana. Sesekali dia mengarahkan kelopak mata indahnya dengan paras penuh tanya, dan aku hanya bisa tersipu penuh degup berharap dia tidak menyadari ada dua sudut mata yang selalu tersorot padanya tiap waktu.
               Seakan hanya bisa bergumam, semua sahabatku begitu mendorongku untuk menggapai cinta itu jadi nyata. Entah kenapa hati ini selalu urung, serasa tak patut saja aku harus berucap padanya tentang isi hati ini. Benar saja, ketika hati ini memilih kalah dan diam, maka tangis itu datang karena telah datang hati lain baginya yang sudah nyata mengungkap rasa.
“apa cinta begini?”  tanya itu selalu ada setiap kuguratkan pena kesedihan itu tiap malam. Hingga waktu berlalu tahun berganti, aku meninggalkan cinta itu tanpa pesan yang harusnya dia tahu. Kesedihan ini kubawa pergi, dan hanya sahabat yang tahu. Mereka iba tak juga terbalas cinta ini tapi mereka paham kalau cinta hati ini bukan untuk diumbar, cukup kusimpan dan tak akan kubuka sampai kapanpun.
                 Tahun berlalu berganti baru, hati ini ingin segera beranjak pergi dari sebuah ketidaknyamanan hati. Bukan karena hati yang patah karena terus tersimpan tanpa ada yang membukanya, akan tetapi aku menemui kenyataan akan sebuah bangunan cinta yang sedang retak. Aku ada di kedua hati itu, aku buah yang tumbuh dari bangunan cinta mereka, orang tua yang amat kusayangi. Seakan lebih baik pergi, aku coba meninggalkannya dengan harapan yang retak itu bisa diperbaiki. Mungkin aku salah satu dari buah cinta ini adalah parasit dalam harmonisasi nada cinta mereka. Jika salah satu dari kami hilang mungkin saja  keeratan bisa kembali utuh, karena adanya kekosongan yang harus diisi.
“Bun.. Gendis mau pindah sekolah saja, besok sudah pengumuman kelulusan, bunda tolong menghadap Bu Ani biar dibuatkan surat pindah ya Bun..?” perlahan tercekat permohonan itu kuutarakan, karena malam itu bunda masih terlihat sedih dan takut dengan sikap dan perilaku kasar ayah.
                Sedikit banyak aku mencoba menyelami hati bunda yang selama ini mungkin sering tersakiti oleh sikap ayah. Tidak banyak yang bisa dibahas dengan anak gadis seumurku, bagi bunda aku mungkin belum mampu  memahami risau hati bunda yang selalu tersiksa dengan ketidaksetiaan ayah pada cinta mereka berdua akhir-akhir ini. Jauh di lubuk hati ini sebenarnya akulah yang tahu segala lapisan hitam putih cinta mereka berdua, hanya saja penghormatan dan rasa segan masih kujaga buat mereka berdua. Aku tak mau mereka terhakimi dan merasa ditelanjangi jika aku harus membuka lembaran-lembaran konflik cinta mereka dengan sudut pandangku sebagai anak.

             Pagi ini bunda menepati janjinya menghadap Bu Ani, beliau wali kelas ku selama aku menempuh bangku sekolah menengah pertama. Bunda nampak gelisah dengan pertanyaan Bu Ani mengenai alasan kepindahanku, wajar saja pertanyaan itu muncul lantaran aku punya nilai bagus dan sudah ada sekolah negeri favorit yang mau menerimaku di sekolah baru dengan seragam putih abu-abu. Tapi aku dan bunda sudah membicarakan hal itu semalam, dan aku sudah pastikan Bu Ani tahu apa alasan kepindahanku, karena selama ini aku sering berkeluh kesah dengannya.
“Gendis...semua urusan administrasi dan surat pindah kamu sudah bunda bereskan, kira-kira mau berangkat ke Magelang kapan?” ucap bunda sembari menyerahkan setumpuk berkas dari sekolah yang akan jadi bekalku mencari sekolah baru di kota kelahirannya dulu.
Secepatnya bun.., besok lusa setelah Gendis perpisahan sama temen-temen di cafe buku dekat rumah kita” jawabku singkat.
Bunda mungkin berat melihatku akan segera menjauh darinya, dan tak ada yang menemaninya lagi. Tapi aku harus melanjutkan hidup dengan lingkungan baru, karena akhir-akhir ini terlalu sesak dada ini harus menyaksikan peretengkaran dua orang yang saling mencinta dan paling kucintai itu. Janjiku untuk merombak seluruh hati ini akan cinta sudah bulat. Kurampungkan semua yang harus dikemas, tiketku jam 9 pagi ini di stasiun Gambir, entah siapa diantara mereka berdua yang melepas kepergianku ini.
Ternyata ayah mengantarku, karena kebetulan siang ini sedang tidak bekerja. Selama perjalanan kami menuju stasiun tak banyak kata yang terucap, dia hanya memberi ku bekal uang dan buku tabungan untuk hidupku yang terpisah kelak. Tak ada bekal kata perpisahan atau ungkapan perasaan yang mungkin sebenarnya ingin dia bagi selama ini, hingga akhirnya kami tiba di stasiun setengah jam lebih awal.
“Oke jaga kesehatan, jangan sampai telat makan ya!” hanya itu kata yang terlontar saat ayah mengantarku mencari kursi keretaku.
“Iya….” Aku enggan untuk berbasa basi lebih jauh, diam mungkin yang terbaik.
“Ya sudah, ayah pulang sekarang ya! Ehmm titip salam buat mbah di Magelang” ayah pun berlalu.
 Kubalas dengan anggukan kepala, tanda aku mengerti. Mengerti kalo itu Cuma basa basi ayah. Mbah atau nenek ku tidak suka dengan ayah sejak awal ibu bertemu ayah, singkat kata keluarga ibuku sebenarnya tidak merestui pernikahan mereka. Aku tahu hal ini sejak aku masih duduk di Sekolah Dasar. Entah mengapa pada waktu itu aku merasa mereka semua orang tua beranggapan bahwa hal wajar kalo anak dibawah umur seperti aku ini sudah harus bisa menerima kenyataan peliknya kehidupan rumah tangga dan konflik kedua orang tuanya.


Masihkah Ada…..
Ibarat terdampar di pulau antah berantah tanpa membawa bekal, hanya bisa terdiam dan berpikir akankah ada yang datang menyelamatkanku. Kembali ke sekolah, masa SMA ku tidak begitu istimewa. Sejak awal aku datang ke sekolah tidak ada yang membuat ku merasa lebih baik. Sendiri, itu yang kuhadapi saat ini. Kenyataan yang kuterima adalah tante mendaftarku ke sekolah swasta, bukan sekolah negeri seperti permintaanku. Padahal nilaiku cukup untuk bersaing disini, ya memang nilai rata-rata ujian di jawa tengah ternyata lebih tinggi daripada rata-rata nilai ujian nasional di Jakarta saat itu.
Bukan hanya itu kejutannya, saat masuk sekolah baruku itu ternyata aku harus berhijab, tamat sudah riwayatku.
bersambung.........................
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KRISIS EKONOMI TINJAUAN EKONOMI ISLAM

                                              Dari kacamata ekonomi islam, sebuah krisis tidak hanya dilihat dari segi kuantitatif atau...