Janji Suci
Kau tidak tahu kapan bertemu awal cintamu
Tapi kau harus tau dengan siapa kelak akhir cintamu
Cinta berawal dari paras muka
Cinta berawal dari tatap mata
Cinta bisa bertambah karena harta
Namun akhir dari ujung pencarian cinta adalah Tuhan
dan setia
…
Dalam
cinta apa semua orang percaya takdir, entah itu jodoh yang sudah diberikan atau
mungkin orang yang dipilih untuk menemani seumur hidupnya. Semua tanda cinta
bisa kita reka dan duga, tapi satu hal kuasa Tuhan akan sebuah penyatuan atau
perpisahan cinta cuma Tuhan yang punya. Awal yang indah tak selalu berakhir
indah, begitu pula sebaliknya. Aku hanya percaya ketika cinta itu kutemukan
maka harusnya ada kebahagiaan yang melingkari, meskipun kadang ada campuran
kesedihan kelak lebih suka kita kusebut
rasa haru, karena semua di dalamnya ada cinta. Boleh bukan jika kesedihan itu
jadi bagian kebahagiaan cinta yang terangkai. Sahabat, kala aku merenda harapan
di hati akan cinta, tak jarang aku menangis. Kusebut begitu karena aku mulai
mengenal dan meraba rasa itu dengan rasa sebelah hati. Ini bukan lagu Ribas,
tapi memang kala itu aku hanya menyimpan pualam cinta ini dalam-dalam. Selalu
mengaguminya dari jauh, tanpa perduli dia tahu atau tidak ketika mata ini hanya
terpaku pada senyum indahnya. Ketika aku selalu mencuri pandang dari sudut
bangku sekolah manatapnya yang sedang bersenda gurau di luar sana. Sesekali dia
mengarahkan kelopak mata indahnya dengan paras penuh tanya, dan aku hanya bisa
tersipu penuh degup berharap dia tidak menyadari ada dua sudut mata yang selalu
tersorot padanya tiap waktu.
Seakan
hanya bisa bergumam, semua sahabatku begitu mendorongku untuk menggapai cinta
itu jadi nyata. Entah kenapa hati ini selalu urung, serasa tak patut saja aku
harus berucap padanya tentang isi hati ini. Benar saja, ketika hati ini memilih
kalah dan diam, maka tangis itu datang karena telah datang hati lain baginya
yang sudah nyata mengungkap rasa.
“apa
cinta begini?” tanya itu selalu ada
setiap kuguratkan pena kesedihan itu tiap malam. Hingga waktu berlalu tahun
berganti, aku meninggalkan cinta itu tanpa pesan yang harusnya dia tahu.
Kesedihan ini kubawa pergi, dan hanya sahabat yang tahu. Mereka iba tak juga
terbalas cinta ini tapi mereka paham kalau cinta hati ini bukan untuk diumbar,
cukup kusimpan dan tak akan kubuka sampai kapanpun.
Tahun
berlalu berganti baru, hati ini ingin segera beranjak pergi dari sebuah
ketidaknyamanan hati. Bukan karena hati yang patah karena terus tersimpan tanpa
ada yang membukanya, akan tetapi aku menemui kenyataan akan sebuah bangunan
cinta yang sedang retak. Aku ada di kedua hati itu, aku buah yang tumbuh dari
bangunan cinta mereka, orang tua yang amat kusayangi. Seakan lebih baik pergi,
aku coba meninggalkannya
dengan harapan yang retak
itu bisa diperbaiki. Mungkin aku salah
satu dari buah cinta ini adalah parasit dalam
harmonisasi nada cinta mereka. Jika salah satu dari kami hilang mungkin saja keeratan bisa kembali utuh, karena adanya
kekosongan yang harus diisi.
“Bun..
Gendis mau pindah sekolah
saja, besok sudah pengumuman kelulusan, bunda tolong menghadap Bu Ani biar
dibuatkan surat pindah ya Bun..?” perlahan tercekat permohonan itu kuutarakan,
karena malam itu bunda masih terlihat sedih dan takut dengan sikap dan perilaku
kasar ayah.
Sedikit
banyak aku mencoba menyelami hati bunda yang selama ini mungkin sering
tersakiti oleh sikap ayah. Tidak banyak yang bisa dibahas dengan anak gadis
seumurku, bagi bunda aku mungkin belum mampu memahami risau hati bunda yang selalu
tersiksa dengan ketidaksetiaan ayah pada cinta mereka berdua akhir-akhir ini.
Jauh di lubuk hati ini sebenarnya akulah yang tahu segala lapisan hitam putih
cinta mereka berdua, hanya saja penghormatan dan rasa segan masih kujaga buat
mereka berdua. Aku tak mau mereka terhakimi dan merasa ditelanjangi jika aku
harus membuka lembaran-lembaran konflik cinta mereka dengan sudut pandangku
sebagai anak.
Pagi
ini bunda menepati janjinya menghadap Bu Ani,
beliau wali kelas ku selama aku menempuh bangku sekolah
menengah pertama. Bunda nampak gelisah dengan pertanyaan Bu Ani mengenai alasan
kepindahanku, wajar saja pertanyaan itu muncul lantaran aku punya nilai bagus
dan sudah ada sekolah negeri favorit yang mau menerimaku di sekolah baru dengan
seragam putih abu-abu. Tapi aku dan bunda sudah membicarakan hal itu semalam,
dan aku sudah pastikan Bu Ani tahu apa alasan kepindahanku, karena selama ini
aku sering berkeluh kesah dengannya.
“Gendis...semua
urusan administrasi dan surat pindah kamu sudah bunda bereskan, kira-kira mau
berangkat ke Magelang kapan?” ucap bunda sembari menyerahkan setumpuk berkas
dari sekolah yang akan jadi bekalku mencari sekolah baru di kota kelahirannya
dulu.
“Secepatnya bun.., besok lusa setelah
Gendis perpisahan sama temen-temen di cafe buku dekat rumah kita” jawabku
singkat.
Bunda
mungkin berat melihatku akan segera menjauh darinya, dan tak ada yang
menemaninya lagi. Tapi aku harus melanjutkan hidup dengan lingkungan baru,
karena akhir-akhir ini terlalu sesak dada ini harus menyaksikan peretengkaran dua orang yang
saling mencinta dan paling kucintai itu. Janjiku untuk merombak seluruh hati
ini akan cinta sudah bulat.
Kurampungkan semua yang harus dikemas, tiketku jam 9 pagi ini di stasiun
Gambir, entah siapa diantara mereka berdua yang melepas kepergianku ini.
Ternyata ayah mengantarku, karena kebetulan siang ini
sedang tidak bekerja. Selama perjalanan kami menuju stasiun tak banyak kata
yang terucap, dia hanya memberi ku bekal uang dan buku tabungan untuk hidupku
yang terpisah kelak. Tak ada bekal kata perpisahan atau ungkapan perasaan yang
mungkin sebenarnya ingin dia bagi selama ini, hingga akhirnya kami tiba di
stasiun setengah jam lebih awal.
“Oke jaga kesehatan, jangan sampai telat makan ya!”
hanya itu kata yang terlontar saat ayah mengantarku mencari kursi keretaku.
“Iya….” Aku enggan untuk berbasa basi lebih jauh, diam
mungkin yang terbaik.
“Ya sudah, ayah pulang sekarang ya! Ehmm titip salam
buat mbah di Magelang” ayah pun berlalu.
Kubalas dengan
anggukan kepala, tanda aku mengerti. Mengerti kalo itu Cuma basa basi ayah.
Mbah atau nenek ku tidak suka dengan ayah sejak awal ibu bertemu ayah, singkat
kata keluarga ibuku sebenarnya tidak merestui pernikahan mereka. Aku tahu hal
ini sejak aku masih duduk di Sekolah Dasar. Entah mengapa pada waktu itu aku
merasa mereka semua orang tua beranggapan bahwa hal wajar kalo anak dibawah
umur seperti aku ini sudah harus bisa menerima kenyataan peliknya kehidupan
rumah tangga dan konflik kedua orang tuanya.
Masihkah Ada…..
Ibarat terdampar di pulau antah berantah tanpa membawa
bekal, hanya bisa terdiam dan berpikir akankah ada yang datang menyelamatkanku.
Kembali ke sekolah, masa SMA ku tidak begitu istimewa. Sejak awal aku datang ke
sekolah tidak ada yang membuat ku merasa lebih baik. Sendiri, itu yang kuhadapi
saat ini. Kenyataan yang kuterima adalah tante mendaftarku ke sekolah swasta,
bukan sekolah negeri seperti permintaanku. Padahal nilaiku cukup untuk bersaing
disini, ya memang nilai rata-rata ujian di jawa tengah ternyata lebih tinggi
daripada rata-rata nilai ujian nasional di Jakarta saat itu.
Bukan hanya itu kejutannya, saat masuk sekolah baruku
itu ternyata aku harus berhijab, tamat sudah riwayatku.
bersambung.........................
Tidak ada komentar:
Posting Komentar