Dari
kacamata ekonomi islam, sebuah krisis tidak hanya dilihat dari segi kuantitatif
atau fundamental ekonominya saja. Namun lebih pada aspek kualitatif, atau
nilai-nilai yang mendasari fondasi ekonomi itu sendiri. Dari sekian banyaknya
uraian penyebab krisis hanya sedikit yang menyoroti aspek-aspek
keagamaan (religious aspect), aspek
etika ekonomi (economic ethical aspects),
aspek tingkah laku para pelaku ekonomi (economic
behavioral agents), dan aspek-aspek kualitatif lainnya.
Akar Krisis Perspektif Ekonomi
Islam
a.
Sistem
bunga (riba)
Sistem bunga dalam pada bank konvensional, nasabah akan
menerima atau membayar return bersifat fixed yang disebut bunga. Bagi nasabah
penabung akan mendapatan bunga yaitu persentase terhadap dana yang ditabung sedangkan
bagi nasabah peminjam (debitur) akan membayar bunga yaitu persentase terhadap
dana yang dipinjam oleh nasabah. Bank syari’ah, nasabah akan menerima atau
membayar return bersifat tidak fixed yang disebut bagi hasil. Bagi penabung
akan menerima bagi hasil yaitu persentase terhadap hasil yang diperoleh dari
dana yang ditabung oleh nasabah yang kemudian dikelola oleh pihak bank.
Peminjam (debitur) akan membayar bagi hasil yaitu persentase terhadap hasil
yang diperoleh dari dana yang dipinjam oleh nasabah yang kemudian dikelolanya.
Bunga tersebut harus tetap dibayarkan oleh pihak
bank kepada nasabah walaupun bank tidak mendapatkan keuntungan atau dalam
keadaan yang bagaimanapun bunga harus dibayarkan tidak melihat apakah laba atau
rugi. Bagi debitur juga harus membayar tingkat bunga yang telah disepakati baik
dalam kondisi laba maupun rugi. Disinilah
terjadinya eksploitasi
saat tingkat bunga tinggi dan tingkat bunga rendah. Pada saat suku bunga tinggi
yang dieksploitasi adalah debitur dan ini umumnya terjadi pada kondisi ekonomi
sedang berkinerja buruk. Pada
kondisi ini debitur mendapat keuntungan yang rendah atau bahkan mengalami
kerugian tetapi tetap diharuskan membayar bunga yang tinggi. Pada kondisi buruk
ini dapat terjadi proses predatori
(yang kuat memakan yang lemah) dan intimidasi
(memaksa membayar bunga walaupun tidak memungkinkan) kepada debitur. Pada
kondisi kinerja ekonomi membaik umumnya suku bunga rendah maka pada kondisi ini
pihak krediturlah yang dieksploitasi, debitur mendapat keuntungan yang tinggi
tetapi krediur hanya mendapat bagian (bunga) yang rendah. Ketiga karakteristik inilah yang
merupakan sifat dasar dari ribawi. Oleh karena itu sudah sepantasnyalah ribawi
itu dihapuskan dari sistem perekonomian karena hanya akan menciptakan inefisiensi
dan instabilitas dalam perekonomian.
a.
Spekulasi
Bagi spekulan, tidak penting apakah nilai menguat atau
melemah. Bagi mereka yang penting adalah mata uang selalu berfluktuasi. Tidak
jarang mereka melakukan rekayasa untuk menciptakan fluktuasi bisa ada momen
yang tepat, biasanya suatu peristiwa politik yang menimbulkan ketidakpastian.
Menjelang momentum tersebut, secara perlahan – lahan, mereka membeli rupiah,
sehingga permintaan akan meningkat. Ini akan mendorong nilai rupiah menguat.
Penguatan rupiah secara semu ini, akan menjadi makanan empuk para spekulan.
Bila momentumnya muncul dan ketidakpastian mulai merebak, mereka akan melepas
rupiah secara sekaligus dalam jumlah yang besar. Pasar akan
kebanjiran rupiah dan tentunya nilai rupiah akan anjlok. Para spekulan
meraup keuntungan dari selisih harga beli dan harga jual.makin besar selisihnya,
makin menarik bagi para spekulan untuk bermain. Berdasarkan realitas itulah,
maka konferensi tahunan Association of Muslim Scientist di Chicago,
oktober 1998 yang membahas masalah ekonomi Asia dalam perspektif ekonomi
syariah, menyepakati, bahkan akar persoalan krisis adalah perkembangan sektor
finansial yang berjalan sendiri, tanpa terkait dengan sektor riil. Dengan
demikian, nilai suatu mata uang dapat berfluktuasi secara liar.
b.
Greedines
dan Konsumerisme
Salah
satu sikap hidup kaum materialis dan kapitalis adalah konsumerisme, dimana hal
ini digambarkan dengan kondisi masyarakat yang memiliki sikap hidup boros,
sifat serakah maupun besar pasak daripada tiang. Hal ini diakibatkan karena
lemahnya moral maupun iman seseorang. Alih-alih memenuhi kebutuhan hidup tapi
tidak selaras dengan keadaan keuangan, akhirnya demi memenuhi kebutuhan duniawi
tanpa ragu melakukan praktek-praktek yang menyimpang dari kaidah atau syariat
agama. Dan ini sudah merajalela bahkan mendarah daging hingga ke level negara.
Belajar dari faktor-faktor yang memicu ketidakstabilan
perekonomian, spekulasi dan bunga merupakan penyebab pokok instabilitas
meskipun tidak secara langsung. Namun kedua faktor tersebut perannya sangat
besar dalam investasi yang merupakan faktor inti dalam pembangunan perekonomian
suatu negara. Dalam ekonomi Islam dikenal adanya stabilisator otomatis jika
terjadi gangguan dalam perekonomian. Paling tidak ada 2 syarat utama yang harus
dipenuhi dalam perekonomian, sehingga stabilisator otomatis dapat terbentuk yaitu
pertama perbankan yang bebas riba dan
kedua pasar modal yang bebas
spekulasi.
Dalam sistem syari’ah tidak ada yang
dieksplotasi dan tidak ada yang mengeksploitasi, risiko yang merupakan kondisi
yang tidak pasti dimasa akan datang ditanggung bersama dan apabila mendapat
keuntungan yang tinggi juga dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan diawal. Karena, ekonomi syari’ah melarang
sesuatu (misalnya laba atau rugi) yang tidak pasti dimasa akan datang dibuat
pasti dan ditentukan pada saat sekarang. Disi lain juga melarang sesuatu yang
sudah pasti dibuat menjadi tidak pasti agar dapat melakukan spekulasi atau
mengambil keuntungan untuk kepentingannya sendiri dengan merugikan atau merusak
perekonomian secara umum. Perbankan syari’ah menerapkan sistem bagi hasil, pada
kondisi terjadi laba maka akan membayar tingkat persentase bagi hasil yang
telah disepakati, dalam kondisi impas tidak ada pembayaran dan pada kondisi
mengalami kerugian maka kerugian tersebut juga dibagi bersama antara nasabah
dengan pihak bank. Dalam perbankan syari’ah hubungan antara nasabah dengan bank
adalah dalam bentuk kemitraan.
Sedangkan
spekulasi terjadi ketika penjualan atau pembelian saham
biasanya dilakukan dengan harapan mendapatkan keuntungan dari perubahan harga
tanpa adanya partisipasi dalam aktivitas produksi. Sedangkan investasi
ditujukan untuk membeli aset atau pengeluaran untuk barang-barang modal. Beberapa
berpendapat bahwa sumber spekulasi ada tiga, yatu perbedaan suku bunga kredit,
pasar mendatang, serta pembentukan harga saham dan modal akibat tekanan pasar.
Kategori pertama sangat dilarang dalam Al-Quran, kategori kedua dilarang dalam
hadits, dan yang terakhir merupakan alasan utama para spekulator bermain di
pasar saham/bebas.
Dari semua hal
diatas, satu hal mendasar yang perlu diingat adalah perlunya keseimbangan dan
keadilan. Prakteknya masih sangat sukar menjalankan sistem ekonomi dengan
konsep imbang dan adil, karena selama ini Indonesia masih menganut sistem
kapitalisme yang cenderung bersifat bebas, dominasi kaum pemodal, persaingan
yang tidak sehat, bahkan monopoli. Sedangkan dalam islam, sistem ekonomi harus
dilakukan dengan adil, dimana setiap proses atau transaksi dilakukan harus
didasarkan atas suka sama suka atau keridhaan sasing-masing, dan tanpa ada
kebohongan, tipu menipu atau gharar. Sekalipun di era globalisasi yang identik
dengan perdagangan yang bebas batasan, hambatan, serta rintangan.
Untuk
mengembalikan stabilitas ekonomi, dan jawaban untuk keluar dari krisis yang
berkepanjangan. Sebagai penutup dari makalah ini kami simpulkan beberapa
langkah strategis sebagai jalan keluar menurut tinjauan atau perspektif ekonomi
islam:
1.
Menjauhkan segala praktek sektor
financial atau keuangan dari transaksi yang mengandung riba, termasuk transaksi
maya di pasar saham. Menggantinya dengan sistem profit and loss sharing atau
bagi hasil dan jual beli yang adil, serta melakukan kerjasama bisnis dengan
prinsip kemitraan. Dengan mengadopsi berbagai prinsip-prinsip transaksi dalam
ekonomi islam seperti mudharabah, musyarakah, qardu hasan, dll.
2.
Menghilangkan spekulasi, dalam hal ini
bukan berarti islam melarang adanya pasar modal ataupun valuta asing. Akan
tetapi bagaimana memformulasikan pasar modal yang mempertimbangkan aspek-aspek
diantaranya penjualan dan pembelian yang dilarang dalam ajaran syariah harus
dilarang secara hukum, harga jual saham harus diatur berdasarkan nilai
intrinsiknya bukan nilai pasar, dan yang terakhir visualisasi standar neraca
keuangan atau dengan kata lain harus ada audit dari akuntan publik.
3.
Zakat produktif dan pajak sebagai
instrumen fiskal yang juga merupakan stabilisator ekonomi. Zakat dari berbagai
kalangan yang memiliki kelebihan harta (baik zakat fitrah, zakat profesi,
maupun zakat maal) dan dikelola dengan baik serta dibagikan dengan cara yang
produktif, dampaknya akan lebih cepat bagi kestabilan ekonomi dibandingkan
dengan program-program bantuan tunai langsung dari pemerintah yang kadang tidak
tepat sasaran serta tidak mendidik penerimanya agar lebih berusaha untuk hidup
lebih baik. Konsep tarif penghitungan dan penerimaan pajak yang diterapkan
secara proporsional, akan menghindarkan suatu negara bila terjadi suatu gejolak
ekonomi, sehingga tidak mengakibatkan krisis yang mendalam dan menghancurkan
perekonomian.
4.
Bermuamalah atau bertransaksi dengan
cara yang sesuai dengan syariah. Karena ternyata nilai-nilai
akhlaqul karimah pemerintah dan pelaku bisnis sangat memainkan peranan penting
dalam usahanya untuk menghindari dan mengatasi krisis ekonomi umat.
PUSTAKA:
Jusmaliani, dkk, 2008, Bisnis Berbasis Syariah, Jakarta: Bumi
Aksara
M soekani, Jusmaliani, 2005 Kebijakan Ekonomi Dalam Islam,
Yogyakarta: Kreasi Wacana
Koran Republika
edisi 22-25 Desember 2012
http://zulfan122.blogspot.com/2012/04/ekonomi-islam-solusi-krisis-finansial.html